Monday 17 February 2014

Pertemuan Terakhir dengan Nia


Pertemuan Terakhir dengan Nia

Setelah pertemuan kedua dengan Nia, tanpa terasa sekarang kita berdua udah gak sama-sama lagi. Iya. Hubungan kita udah berakhir. Gue juga bingung, apa yang membuat hubungan kita bisa kadaluarsa secepet ini.

Satu alasan dari Nia yang sampe sekarang gue gabakal pernah lupain waktu dia memutuskan hubungan yang gak lama ini. Satu alasan yang sampe sekarang sangat gabisa gue terima. Waktu itu gue inget, dia minta hubungan kita berakhir karena dia (katanya) gak boleh pacaran, sama orang tuanya. Entah emang bener perasaan gue atau apapun itu, gue ngerasa kandasnya hubungan ini gaada hubungannya sama apa yang Nia katakan. Walaupun gitu, kita masih berkomunikasi. Meskipun gak seintens seperti setelah kita saling meng-accept BBM satu sama lain waktu itu.

Waktu bergerak semakin maju dan frekuensi komunikasi yang kita lakukan sudah semakin berkurang, dan kita menjadi semakin menjauh. Selanjutnya, hidup berlalu begitu saja. Gue punya pacar, dia punya pacar. Gue putus, dia putus. Seperti dipercepat, satu tahun berlalu semenjak kita saling mengucap janji untuk bersama, semenjak gue usap poni lembut didahinya sebagai tanda rasa sayang gue setelah kata ‘iya, aku mau’ yang terucap dari bibirnya.

Suatu malam, ketika gue lagi duduk didepan notebook dengan sebuah jendela browser membuka Twitter, gue merasa ada sesuatu yang berbeda waktu itu. Blackberry disamping notebook gue bunyi, tanda ada sebuah pesan di BBM yang dateng. Gue hanya berharap itu sebuah broadcast message gak penting dari ABG-ABG yang baru megang BB. Tapi entah ada sebuah magnet yang menarik tangan gue untuk segera membuka pesan itu. Entah karena rindu atau sesuatu gue rasa gue lagi berhalusinasi, pesan tersebut dari Nia.

Seperti terhempas ke masa lalu, hal pertama yang gue lakukan sama seperti waktu pertama kali gue mendapat balesan dari Nia, penuh semangat. Sebuah pesan singkat yang membuat gue melupakan segalanya, dan seperti dulu, langsung fokus mencari topik obrolan apa yang harus gue temukan.

Ketika dua orang yang dulu pernah bersama kembali menjalin sebuah komunikasi, hal yang paling sering dibicarakan adalah kenangan. Persis seperti apa yang gue dan Nia lakuin saat ini. Kita berdua saling mengungkapkan apa yang kita ingat.

‘kamu inget nggak gimana pertama kali kita kenalan dulu’, kata Nia diseberang sana.

‘hm, inget, dikit’ padahal, gue inget semuanya.

Gue inget semua detail kecil yang bahkan mungkin dia lupa. Gue inget gimana gue nebak dengan benar ketika dia dateng ke restoran junk food tempat kita pertama kali bertemu. Gue inget jaket pink yang dia pake.

Gue juga inget gimana gue selalu mencoba untuk membuat dia ketawa, yang sebenernya itu hanya taktik gue untuk terlihat tidak canggung. Taktik yang gue gunakan untuk menutupi sedikit demi sedikit perasaan gue, agar tidak terlalu muncul ke permukaan, agar tidak membuat dia jadi ikutan canggung. Gue inget, disela-sela obrolan yang kita lakukakn gue meyakinkan diri kalo ini bukanlah mimpi. Bahkan, gue inget sepatu buduk yang gue kenakan.

Gue inget dua buah cheeseburger dan dua mocca float yang kita pesen waktu itu. Gue juga inget kita pindah dari lantai dua ke lantai satu karena ada segerombolan anak SMA yang baru akil balik. Gue inget semuanya.

Setelah beberapa kenangan yang kita bicarakan, topik yang kita bahas jadi berubah sedikit lebih galau. Nia bercerita soal putus cinta yang baru dia alamin beberapa hari sebelumnya. Dimana pacarnya yang anak family-family apalah itu dia tinggalin, karena dia ngerasa kalo dia gak cocok. 

Obrolan-obrolan soal kisah cinta itu berlanjut, entah siapa yang memulai, kita akhirnya mendapat sebuah kesepakatan untuk bertemu. Entah apa yang meracuni pikiran kami, sehingga kami bisa saling mengucap rindu satu sama lain. Perasaan memang tidak bisa ditutupi, setahun setelah hubungan kandas yang berumur kurang dari sebulan itu, setelah pertemuan kedua yang kita lakukan itu, kita akan bertemu lagi.

Disini gue sekarang, menunggu dia didepan komplek perumahan dia. Dibawah gapura yang sudah layak untuk dicat ulang dihampir seluruh sisinya. 15 menit berlalu setelah pesan dari dia yang menandakan jika dia sedang menuju kearah tempat gue nunggu. Dari kejauhan gue lihat sebuah motor bebek hijau dengan pengendara seorang bapak paruh baya yang sedang membonceng seorang cewe yang gak asing lagi buat mata gue. Itu adalah Nia. Setelah itu, yang kita lakukan adalah saling menyapa dan berpamitan pada Papa nya –bapak-bapak paruh baya yang bawa motor tadi-.

‘nonton? Mau nonton apa?’ jawab Nia setelah gue nawarin dia nonton.

‘em apa ya, liat nanti ajadeh disana’ jawab gue, seadanya.

Di tengah jalan, Nia terus protes soal motor gue. Waktu itu gue bawa motor Satria F dengan jok yang lebih mirip seperti prosotan anak TK. Dan waktu itu dia bilang kalo malem itu dia ada janji sama temen-temennya. Sepertinya waktu masih cukup bagi kita berdua untuk saling menghapus rindu. Ditengah perjalanan, kita masih bingung, kemana kita tujuan kita pergi.

Setelah beberapa kali mempertimbangkan waktu, agar dia bisa membagi antara gue dan teman-temanya, kita sepakat untuk nonton. Kita lalu pergi ke sebuah Mall yang cukup terkenal didaerah Surabaya Timur. Waktu itu kita bingung, apa yang mau kita tonton. Akhirnya kita memilih sebuah film bergenre sci-fi dengan Tom Cruise sebagai pemeran utamanya.

Setelah menunggu beberapa menit, kita masuk ke studio tempat film yang kita pilih diputar. Waktu itu dia memakai dress tanpa lenga dengan motif bunga-bunga. Busana yang kurang cocok sama suasana didalem bioskop yang dingin ini. Beberapa kali gue tanya ke dia apa dia ngga ngerasa dingin. Beberapa kali pula gue berharap, dia paham dengan apa maksut gue. Sebuah modus norak yang ngga berhasil.

Sewaktu film mulai diputar, gue sebenernya ngga bisa kosentrasi untuk memahami isi dari film tersebut. Pandangan gue teralihkan dengan sebuah pemandangan yang lebih penting untuk dipahami. Secara diam-diam gue memandangi wajah Nia. Secara diam-diam gue sadar, apa yang membuat gue jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang gadis disamping gue saat ini. Secara diam-diam juga gue kagum ketika melihat sesosok wajah cantik yang bisa bertambah sangat manis sewaktu tertawa setelah sebuah adegan didalam film mengejutkannya. Secara diam-diam lagi, gue sadar, gue jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya.

Gue masih inget satu: gimana caranya agar film ini tidak cepat selesai dan kita berdua tidak segera pulang.

Dan dua: bisa nggak moment ini selamanya.

Dua jam berlalu, film sudah berakhir. Ketika lampu mulai menyala sedikit-demi sedikit, ketika itu juga gue sadar, bahwa ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan. Lalu, beberapa saat setelah kesadaran gue kembali, gue kembali sadar akan suatu hal yang lain: ini mungkin kesempatan kedua yang diberikan semesta kepada gue untuk memperbaiki semuanya.

Beberapa saat setelah kita melangkah meninggalkan XXI, gue dan Nia sepakat untuk pergi ke salah satu restoran di sebuah hotel di pusat kota Surabaya. Disana, Nia mau ketemuan sama beberapa temen geng nya.

Setelah sampai ditempat tujuan, gue gak lupa bilang ke dia ‘makasih ya buat hari ini’ secara langsung. Dia pun bersikap sama. Selama beberapa detik, kita saling tersenyum tanpa ada kata sedikitpun. Setelah beberapa obrolan basa-basi, gue pamit pulang.

Setelah memastikan dia sampai ke dalam restoran dengan selamat, gue bergegas pulang. Sesampai dirumah gue check BBM, gak ada pesan. Gue berpikir ‘ah mungkin lagi seneng-seneng sama temen-temennya’. Satu jam, dua jam, tiga jam BBM tetap seperti semula. Tidak ada pesan.

Keesokan harinya gue kembali menghubungi dia, berbeda dari tadi malam, kali ini dia membalas pesan yang gue kirim. Tapi, gue rasa kali ini berbeda. Tidak seperti pada awalnya kita saling mengirim pesan setelah satu tahun lost contact, tidak ada gombalan-gombalan lucu, tidak ada kenangan-kenangan yang saling kita ceritakan, tidak ada kata-kata rindu. Setelah itu, frekuensi komunikasi kita kembali berkurang sedikit demi sedikit, lalu tanpa butuh waktu lama kembali menghilang begitu saja.

Sejak obrolan garing yang terakhir kali kita lakukan, gue sadar, bahwa cinta memang bisa datang kepada orang yang tepat dan disaat yang tepat. Namun gue lupa, kalo cinta bisa datang kepada orang yang tepat, tapi disaat yang tidak tepat. Gue gak sadar, bahwa Nia baru saja putus dengan pacarnya, yang jika dilogika dia gak bakal bisa secepat itu move on. Yang gue sadari juga, mungkin gue disini terlalu banyak berharap. Menyedihkan memang. Tapi apa mau dikata? Cinta bisa bikin kita lupa segalanya, termasuk lupa bahwa kita hanya perlu bangun dan sadar, kalo harapan yang kita inginkan terlalu tinggi. Kadang, seseorang memang buta, buta dalam melihat siapa yang sebenarnya tulus mencintai, dan yang sebenarnya hanya modus ingin menyakiti.

Dan gue juga sadar, tidak semua mantan bisa diharapkan. Apalagi diharapkan buat diajak balikan. Gue cuma bisa ketawa. Menertawai diri gue sendiri. Yang ngga pernah sadar, inilah kenapa namanya jatuh cinta: sebagian orang terbang terlalu tinggi mengikuti harapanya, dan jatuh terlalu keras karena ketinggian. Dan juga, orang yang sering jatuh cinta, seperti gue, pasti juga sering berharap. Yang dimana orang yang sering berharap biasanya akan sering kecewa.

Setelah ini, gue gak mau terus-terusan memikirkan semua hal tentang dia dan akhirnya menjomblo dalam waktu yang lama. Karena pada dasarnya, alasan kenapa orang lama menjomblo: cintanya habis di mantannya – kata Raditya Dika-. Masih banyak orang-orang diluar sana yang membutuhkan cinta gue, keluarga gue, temen-temen gue, dan sahabat-sahabat gue. Ya, masih banyak.

Dan semoga, setelah berakhirnya tulisan ini, aku bisa melupakan kamu.

Share:

0 comments:

Post a Comment