Sunday 9 February 2014

Pertemuan Kedua dengan Nia


Pertemuan Kedua dengan Nia

Beberapa waktu setelah pertemuan pertama yang gue lakukan dengan Nia, kali ini kita punya rencana untuk melakukan pertemuan kedua. Yang dimana, pertemuan kedua ini begitu spesial bagi gue. Gue punya rencana, di pertemuan kita yang kedua ini gue udah nyiapin diri buat nembak dia. Finally.


Seperti saat kencan pertama, pagi itu gue gelisah. Gue gelisah karena gue akan bertemu Nia untuk yang kedua kalinya. Menyenangkan, tapi sekaligus menegangkan buat gue. Gimana seseorang yang uda gue taksir dalam waktu yang cukup lama, seseorang yang mampu menyita beberapa ruang dalam hati gue, dan menyita waktu hanya untuk memikirkan hal-hal yang kurang penting di mata orang lain seperti: dia punya rasa sama gue atau engga?


Yang lebih menegangkan lagi, pertemuan ini terasa sangat spesial karena rencana gue buat nembak dia. Entah berhasil, entah gagal. Sepertinya gue tetep dengan motto yang selalu gue camkan untuk urusan cinta kaya gini: apapun yang terjadi, terjadilah. Lebih membuat pusing lagi, gue gak tau apa yang harus gue pake supaya gue bisa lebih spesial dimata dia. Kenapa gue bingung cukup beralasan, gimana nggak, seorang yang modelnya kaya gue gini dipakein baju sebagus, sekeren, se-bermerek apapun pasti gabakal cocok. Setelah beberapa kali gue ganti baju, akhirnya gue nyerah. Gue lebih baik tampil apa adanya dia depan Nia nanti. Kan, i love you just the way you’re.


Waktu itu gue inget, kita janjian ditempat yang sama. Seperti waktu kita dulu pertama kali saling bertemu. Di sebuah kentucky fried chicken didaerah deket rumahnya. Gue juga inget, kita janjian bertemu pukul 10 pagi. Jarak antara rumah gue dengan tempat kita janjian lumayan jauh, karena itu gue berangkat lebih awal. Waktu itu Nia bilang kalo dia yang nunggu gue, katanya dia mau gantian.


Setelah gue memarkir motor, gue memberitahu dia bahwa gue udah dateng. Dia bilang kalo dia duduk di sofa didepan kasir tepat disamping jendela kaca. Setelah mencari-cari dan akhrinya ketemu, kita saling sapa. Karena didepan kasir terlalu ramai, dan kurang nyaman, gue ajak dia buat duduk di lantai dua. Gue masih inget, waktu itu kita memesan dua buah original burger dengan dua mocca float. Gue juga masih inget gimana manisnya dia waktu senyum didepan gue setelah kita memesan makanan itu. Entah apa alasan dia untuk melakukan hal itu, tapi gue percaya, sebuah senyuman tanpa alasan itu adalah sebuah pertanda baik.


Sesampai dilantai dua, kita berdua mencari tempat duduk yang kiranya nyaman untuk mengobrol. Waktu itu kita milih duduk disebuah sofa. Pada awalnya dia duduk di seberang gue, karena jarak sofa yang berhadapan agak lumayan jauh, akhirnya gue memutuskan untuk duduk disebelah dia. Sebuah modus yang cukup memalukan. Setelah saling merasa nyaman dalam hal duduk-dudukan ini, kita berdua saling menghela nafas. Nia masih tersenyum, sedangkan gue masih bingung untuk menentukan topik apa yang akan kita bicarakan. Karena pada dasarnya, semua topik yang pengen gue bicarain udah kita habisin semalem sebelum pertemuan kedua ini.


Gue baru inget, sebelum dia berangkat, dia sempet marah-marah. Bukan, bukan karena gue, tapi karena adiknya yang ngambek karena kakaknya mau pergi dan dia gak diajak. Gue buka obrolan dengan menanyakan kenapa dia marah-marah tadi pagi, dan seperti seharusnya, dia langsung menjawab pertanyaan gue dengan penuh semangat. Tanpa memberi sedikit ruang buat gue, bahkan hanya untuk berdehem sekalipun. Lucu. Di samping dia, gue susah berkonsentrasi untuk mendengarkan apa yang dia ceritakan soal adiknya. Perhatian gue lebih banyak tersita untuk memperhatikan muka Nia diam-diam. Ketika dia lagi masang muka cemberut sambil menggerutu ‘sebel deh’, gue melihat raut muka dia yang bertambah menjadi semakin manis. Berulang kali gue bersyukur, betapa beruntungnya gue bisa sedekat ini dengan orang yang membuat gue berfikir bahwa terkadang Tuhan itu tidak adil, menciptakan makhluk sesempurna ini.


Beberapa lama setelah obrolan-obrolan yang seluruhnya didominasi oleh Nia, gue sepertinya akan mengungkapkan apa yang gue rasakan selama ini. Sebuah rasa yang mungkin Nia udah tau, atau mungkin juga tidak. Sebuah rasa yang mungkin akan membawa kita menuju ke sebuah jenjang yang lebih dari sekedar kenalan yang kita lakukan dua minggu yang lalu. Yap, pacaran. Setelah beberapa persiapan selesai, ternyata malang tak dapat dihindari dan untung tak bisa diraih, setelah gue bersiap untuk bilang jujur sama Nia, segerombolan anak-anak sekolah naik ke lantai dua dan memilih duduk dideket tempat kita berdua duduk. Mereka gak hanya sekedar dateng, tapi sukses bikin gaduh lantai dua, yang tadinya tenang, tentram, dan damai ini. Apa yang mereka lakukan bener-bener bikin rencana gue bakal gagal, bayangin mereka pada teriak-teriak gajelas, kayang sana-sini, nari tor-tor, nari remo, nari saman. Rencana gue? Tragis.


Tapi, sepertinya Nia tau apa yang harus dilakukan. Dia ngajak gue turun, ke lantai satu. Waktu itu dia bilang, dia mau cari stop kontak buat ngecas Hp nya yang udah low baterai, sekaligus membeli pesanan yang dipesan adiknya sesaat sebelum dia berangkat. Akhrinya, kita memilih duduk di sebelah pojok disamping pintu kaca. Nia meminta ijin buat beli pesanan adiknya. Sekembali dia memesan, gue siap untuk melakukan misi terhebat dalam hidup gue. Nyali udah siap, kata-kata udah dipikiran, gue nembak dia.


Gue masih inget, gak banyak yang gue omongin waktu nembak dia, cukup: ‘mau nggak jadi pacarku?’, dan juga masih inget jelas dipikiran gue apa jawab Nia waktu itu, dia jawab: ‘serius? Tapi, rumah kita kan jauh?’. Sebuah alasan untuk mengulur sebuah kata ‘iya’ yang gak masuk akal. Dan, gue bingung kenapa waktu itu gue jawab ke dia kaya gini: ‘kan ada motor, jadi deket’, padahal gak nyambung abis.


Setelah beberapa kalimat untuk saling meyakinkan satu sama lain, gue inget Nia mengatakan dengan tulus sebuah kalimat ‘iya, aku mau’ dari bibirnya. Tulus, gue bisa liat itu dari matanya. Gue dengan sangat jelas inget gimana gue usap kepalanya sebagai tanda sayang yang gue tunjukkan untuk pertama kalinya kepada dia setelah dia mengiyakan pertanyaan gue soal jadian. Gue juga inget gimana mukanya yang berubah menjadi sedikit merah-merah malu. Manis.


Beberapa menit sebelum balik, dia bilang ‘sebentar lagi bakal hujan ya kayanya’ dan beberapa saat setelah itu, hujan turun. Gue masih inget diantara butiran-butiran hujan dijendela restoran  junk food hari itu, kami adalah dua orang yang tidak lagi sendirian. Gue masih inget, hari itu gue punya bidadari.


Seperti biasa, sesampai dirumah, gue check Blackberry gue, dan menemukan pesan dari Nia di BBM. Seperti biasa juga, dia bilang makasi buat hari ini. Yang lebih membuat gue senyum-senyum sendiri didalem kamar adalah personal message Nia dengan tulisan nama gue disana dan sebuah emoticon bunga, peluk, dan cium. Bahkan, sebuah emoticon pun bikin kita gak bisa bergerak dan berhenti senyum-senyum dalam waktu yang cukup lama.


Dan sesimpel itu, kita pacaran.

Sesimpel itu konspirasi semesta bekerja pada dua orang agar bisa saling jatuh cinta.
Share:

0 comments:

Post a Comment