Monday 20 October 2014

Terima Kasih untuk 240 Hari Bahagianya


Menjalin sebuah hubungan itu terkadang membuat kita harus rela berkorban. Berkorban seperti sebuah es batu yang rela lenyap demi menyatu dengan teh panas. Atau seperti air yang rela menguap demi memadamkan amarah api. Atau terkadang, rela melepaskan agar pasangan kita bisa bahagia dengan orang lain.
Terkadang juga, dalam menjalin sebuah hubungan, lama atau tidaknya waktu yang kita habiskan bersama dengan pasangan kita, tidak menjamin hubungan yang kita jalani akan bertahan selamanya. Persis seperti apa yang gue dan mantan gue, sebut saja Fanni, rasakan. Pada awalnya gue nggak nyangka, hubungan yang kita jalin bisa sampai berumur 8 bulan. Bukan waktu yang sebentar untuk 2 remaja labil dengan perbedaan umur terpaut 2 tahun ini. Dan juga bukan waktu yang singkat untuk 2 orang yang beda sifat ini.
Perlu gue beri tahu, Fanni, cewek (yang dulunya) kelas 2 sebuah SMA swasta didaerah Sidoarjo ini, berpawakan kecil mungil, dengan kulit putih, dan wajah cantik sekaligus imut, yang membuat gue bener-bener berlebihan untuk mendeskripsikanya di tulisan ini. Tapi ini memang sesuai dengan kenyataanya. Bandingkan dengan gue, (dulu) pacar dia, berpawakan kurus kering, dengan kulit abu-abu kecoklatan, dan wajah gembelable. Sudah pasti tanpa keberuntungan tingkat tinggi, gue gabakal bisa dapetin dia.
Kelebihan-kelebihan fisik tersebut masih ditambah dengan sifat dia yang berbanding sangat terbalik dengan gue, Fanni adalah mantan yang paling sabar dan paling pengertian diantara mantan-mantan gue sebelumnya. Dia adalah orang yang paling bisa ngadepin sifat gue yang suka marah-marah gak jelas. Bandingkan dengan mantan-mantan gue sebelumnya, mungkin sebulan atau bahkan seminggu, mereka uda melambaikan tangan ke kamera. Tanda sudah menyerah.
Kembali ke awal, gue kenal Fanni karna dia adalah teman dari mantan gue juga, Nia (nama sesuai postingan sebelumnya). Gue kenal Fanni sudah sejak gue pacaran dengan Nia. Lumayan lama. Gue inget, waktu itu, masih seperti biasa, awal kedekatan gue dengan dia dengan melalui BBM. Waktu itu gue inget, setelah sekian lama ngga pernah muncul di recent update, dia mengupdate sebuah status yang menandakan bahwa dia sudah kembali online. Sedikit iseng, gue chat dia. Dia pun membalas chat yang gue kirim dan mengatakan “tumben”. Dan seperti biasa juga, langsung focus, gue mencari topic pembicaraan yang bisa membuat kita saling mengenal lebih jauh satu sama lain.
Percakapan-percakapan yang kita lakukan di BBM makin lama makin intens. Pada awalnya gue ngga terlalu berharap dia membalas BBM gue. Namun takdir berkata lain. Hari demi hari, percakapan yang kita lakukan semakin sering. Dan seiring dengan semakin seringnya percakapan yang kita lakukan, semakin sering juga benih-benih cinta yang ada didalam hati gue semakin cepat tumbuh.
Tanpa butuh waktu lama dan hal romantis, gue bisa dapetin hati Fanni. Ntah benda apa yang membentur di kepala dia pada malam hari sebelum dia tidur, dia mau menerima gue, yang gue rasa semua hal ini gue lakukan seakan-akan berjalan begitu saja. Tanpa usaha. Tapi, bukan berarti gue ngga serius menjalin hubungan dengan dia.
Setelah beberapa lama kita pacaran, kita akhirnya saling merasa bahwa kita berdua harus bertemu. Gue ajak dia ketemuan, dan dia menyanggupinya. Gue masih inget, waktu itu kita bertemu di sekolahnya, gue jemput dia.
Waktu itu gue inget, gue nunggu dia di pinggir jalan raya di depan sekolah dia. Gue masih inget gimana dia mengeluhkan kenapa gue harus nunggu di pinggir jalan raya, yang katanya jauh dan panas banget buat sampai ke mobil gue. Gerutuan-gerutuan di telepon itu semakin membuat dia semakin lucu, imut. Gue jawab, cinta itu butuh usaha kan. Lalu di kembali menjawab, kamu lurus-lurus aja tuh, usahanya dikit. Gue ketawa, skakmat.
Tak berapa lama dia sampai disamping mobil gue, tidak segera masuk. Sedikit iseng, gue buka kaca tepat didepan dimana dia berdiri, lalu gue nyeletuk, maaf mbak ngga ada uang recehan. Dengan bibir merah muda kecilnya dia tertawa, serasi.
Setelah dia duduk disamping gue, dan beberapa menit mendengar keluh kesah perjuanganya jalan kaki menuju mobil gue, gue Tanya kita mau kemana. Setelah beberapa perdebatan kecil, akhirnya kita putuskan untuk menuju ke suatu tempat, menghabiskan waktu bersama.
Singkat cerita, gue mengantar dia kembali kerumahnya. Ditengah perjalanan dia cerita tentang keluarganya. Focus utama yang dia ceritakan adalah ayahnya. Seseorang yang ngga lama lagi akan gue temui. Fanni bercerita panjang lebar, soal ayahnya yang kaku, yang ngga pernah bisa nerima begitu saja teman cowok anak perempuanya ini. Yang akhirnya dengan sangat sukses bisa gue rebut hatinya sedikit demi sedikit. Lumayan bagus.
Berbulan-bulan hubungan kita terjalin, tidak cukup mulus. Banyak masalah yang harus kita lalui. Masalah-masalah itu biasanya timbul karena sifat gue yang luar biasa ngeselin ini. Tapi, dengan luar biasa juga Fanni mampu menghadapinya, mampu meredam amarah gue, mampu meredam rasa cemburuan gue, mampu meredam rasa curigaan gue. Dia mampu semuanya.
Banyak hal-hal menyenangkan yang kita lalu bersama di awal hubungan ini. Jalan-jalan, makan malam, dan hal-hal menyenangkan lain. Kita juga sudah saling mengenal keluarga kita satu sama lain. Gue uda pernah mengenalkan dia dengan Ayah dan Ibu gue, dan dengan mulusnya dia disukai oleh mereka. Dan begitupun sebaliknya, gue selalu diterima dengan baik oleh kedua orang tua dia.
Sampai pada 7 bulan hubungan kita berjalan, gue ngerasa ada yang salah dengan hubungan kita ini. Gue rasa, gue dan Fanni semakin lama semakin menjauh. Hubungan kita semakin lama semakin datar. Gue inget, gue pernah bilang sama dia, kalo hubungan kita itu ngelewatin 2 fase. Fase pertama, kita ini bagaikan naik arung jeram. Hubungan kita pada awalnya sangat seru dan penuh drama, ada kalanya kita berada disituasi yang menegangkan karena harus melewati sebuah jeram yang mungkin bisa membuat “perahu karet” kita terbalik, dan hancur. Namun ada kalanya kita berada di situasi yang membuat kita saling tertawa lepas karena bisa melewati jeram yang mengancam.
Dan fase yang kita lewati sekarang, adalah fase dimana kita bagaikan menaiki kapal pesiar ditengah lautan yang tenang. Hubungan serasa berjalan lurus dan datar, tidak ada jeram yang mengancam, tidak ada ombak yang mengguncang. Drama yang awalnya selalu ada, sekarang menjadi berkurang jauh. Membosankan.
Seiring berjalannya waktu, hubungan kita semakin lama semakin datar. Kita jadi lebih jarang bertemu. Disamping jarak rumah kita yang lumayan jauh, dan ditambah lagi dengan tingkat kemacetan tingkat tinggi didaerah dekat rumah dia, belum lagi tugas-tugas kuliah gue yang semakin lama semakin menggila. Jarang bertemu membuat kita jadi lebih jauh. Jadi lebih sering berantem, jadi sangat mudah berkata putus, dan jadi lebih sering berpikir untuk saling meninggalkan satu sama lain.
Setelah genap 8 bulan hubungan yang kita lalu, kita akhirnya memilih untuk sendiri. Memutuskan hubungan selama 240 hari yang luar biasa itu. 240 hari yang membuat gue menjadi semakin dewasa dan mungkin bisa merubah sifat buruk gue. 240 hari yang membuat gue jadi sedikit romantis. 240 hari yang mungkin ngga bakal terlupakan dalam hidup gue, yang bisa gue ceritain ke anak cucu gue nanti. 240 hari yang membuat gue sadar tentang hubungan ini, bahwa gelap itu ngga ada. Yang ada itu kekurangan cahaya. Padahal kalo lampu diluar dinyalain atau bulan bisa lebih terang. Mungkin kita bisa melihat pemandangan bagus. Mungkin kebosanan yang sudah menggelapkan hubungan ini. Tapi semua mesti harus berjalan.
Dan satu lagi, walaupun akhirnya belum tentu bahagia, setidaknya kita pernah tersenyum bersama. Aku dengan segala kekuranganku, dan kamu, dengan segala kelebihanmu.
Selamat ulang tahun.


Share: