Menjalin sebuah hubungan itu terkadang membuat kita harus
rela berkorban. Berkorban seperti sebuah es batu yang rela lenyap demi menyatu
dengan teh panas. Atau seperti air yang rela menguap demi memadamkan amarah
api. Atau terkadang, rela melepaskan agar pasangan kita bisa bahagia dengan
orang lain.
Terkadang juga, dalam menjalin sebuah hubungan, lama atau
tidaknya waktu yang kita habiskan bersama dengan pasangan kita, tidak menjamin
hubungan yang kita jalani akan bertahan selamanya. Persis seperti apa yang gue
dan mantan gue, sebut saja Fanni, rasakan. Pada awalnya gue nggak nyangka,
hubungan yang kita jalin bisa sampai berumur 8 bulan. Bukan waktu yang sebentar
untuk 2 remaja labil dengan perbedaan umur terpaut 2 tahun ini. Dan juga bukan
waktu yang singkat untuk 2 orang yang beda sifat ini.
Perlu gue beri tahu, Fanni, cewek (yang dulunya) kelas 2 sebuah SMA
swasta didaerah Sidoarjo ini, berpawakan kecil mungil, dengan kulit putih, dan
wajah cantik sekaligus imut, yang membuat gue bener-bener berlebihan untuk
mendeskripsikanya di tulisan ini. Tapi ini memang sesuai dengan kenyataanya. Bandingkan
dengan gue, (dulu) pacar dia, berpawakan kurus kering, dengan kulit abu-abu
kecoklatan, dan wajah gembelable. Sudah pasti tanpa keberuntungan tingkat
tinggi, gue gabakal bisa dapetin dia.
Kelebihan-kelebihan fisik tersebut masih ditambah dengan
sifat dia yang berbanding sangat terbalik dengan gue, Fanni adalah mantan yang
paling sabar dan paling pengertian diantara mantan-mantan gue sebelumnya. Dia
adalah orang yang paling bisa ngadepin sifat gue yang suka marah-marah gak
jelas. Bandingkan dengan mantan-mantan gue sebelumnya, mungkin sebulan atau
bahkan seminggu, mereka uda melambaikan tangan ke kamera. Tanda sudah menyerah.
Kembali ke awal, gue kenal Fanni karna dia adalah teman dari
mantan gue juga, Nia (nama sesuai postingan sebelumnya). Gue kenal Fanni sudah
sejak gue pacaran dengan Nia. Lumayan lama. Gue inget, waktu itu, masih seperti
biasa, awal kedekatan gue dengan dia dengan melalui BBM. Waktu itu gue inget,
setelah sekian lama ngga pernah muncul di recent
update, dia mengupdate sebuah status yang menandakan bahwa dia sudah
kembali online. Sedikit iseng, gue
chat dia. Dia pun membalas chat yang gue kirim dan mengatakan “tumben”. Dan
seperti biasa juga, langsung focus, gue mencari topic pembicaraan yang bisa
membuat kita saling mengenal lebih jauh satu sama lain.
Percakapan-percakapan yang kita lakukan di BBM makin lama
makin intens. Pada awalnya gue ngga terlalu berharap dia membalas BBM gue.
Namun takdir berkata lain. Hari demi hari, percakapan yang kita lakukan semakin
sering. Dan seiring dengan semakin seringnya percakapan yang kita lakukan,
semakin sering juga benih-benih cinta yang ada didalam hati gue semakin cepat
tumbuh.
Tanpa butuh waktu lama dan hal romantis, gue bisa dapetin
hati Fanni. Ntah benda apa yang membentur di kepala dia pada malam hari sebelum
dia tidur, dia mau menerima gue, yang gue rasa semua hal ini gue lakukan
seakan-akan berjalan begitu saja. Tanpa usaha. Tapi, bukan berarti gue ngga serius
menjalin hubungan dengan dia.
Setelah beberapa lama kita pacaran, kita akhirnya saling
merasa bahwa kita berdua harus bertemu. Gue ajak dia ketemuan, dan dia
menyanggupinya. Gue masih inget, waktu itu kita bertemu di sekolahnya, gue
jemput dia.
Waktu itu gue inget, gue nunggu dia di pinggir jalan raya di
depan sekolah dia. Gue masih inget gimana dia mengeluhkan kenapa gue harus
nunggu di pinggir jalan raya, yang katanya jauh dan panas banget buat sampai ke
mobil gue. Gerutuan-gerutuan di telepon itu semakin membuat dia semakin lucu,
imut. Gue jawab, cinta itu butuh usaha kan. Lalu di kembali menjawab, kamu
lurus-lurus aja tuh, usahanya dikit. Gue ketawa, skakmat.
Tak berapa lama dia sampai disamping mobil gue, tidak segera
masuk. Sedikit iseng, gue buka kaca tepat didepan dimana dia berdiri, lalu gue
nyeletuk, maaf mbak ngga ada uang recehan. Dengan bibir merah muda kecilnya dia
tertawa, serasi.
Setelah dia duduk disamping gue, dan beberapa menit
mendengar keluh kesah perjuanganya jalan kaki menuju mobil gue, gue Tanya kita
mau kemana. Setelah beberapa perdebatan kecil, akhirnya kita putuskan untuk
menuju ke suatu tempat, menghabiskan waktu bersama.
Singkat cerita, gue mengantar dia kembali kerumahnya.
Ditengah perjalanan dia cerita tentang keluarganya. Focus utama yang dia
ceritakan adalah ayahnya. Seseorang yang ngga lama lagi akan gue temui. Fanni
bercerita panjang lebar, soal ayahnya yang kaku, yang ngga pernah bisa nerima
begitu saja teman cowok anak perempuanya ini. Yang akhirnya dengan sangat
sukses bisa gue rebut hatinya sedikit demi sedikit. Lumayan bagus.
Berbulan-bulan hubungan kita terjalin, tidak cukup mulus.
Banyak masalah yang harus kita lalui. Masalah-masalah itu biasanya timbul
karena sifat gue yang luar biasa ngeselin ini. Tapi, dengan luar biasa juga
Fanni mampu menghadapinya, mampu meredam amarah gue, mampu meredam rasa
cemburuan gue, mampu meredam rasa curigaan gue. Dia mampu semuanya.
Banyak hal-hal menyenangkan yang kita lalu bersama di awal
hubungan ini. Jalan-jalan, makan malam, dan hal-hal menyenangkan lain. Kita
juga sudah saling mengenal keluarga kita satu sama lain. Gue uda pernah
mengenalkan dia dengan Ayah dan Ibu gue, dan dengan mulusnya dia disukai oleh
mereka. Dan begitupun sebaliknya, gue selalu diterima dengan baik oleh kedua
orang tua dia.
Sampai pada 7 bulan hubungan kita berjalan, gue ngerasa ada
yang salah dengan hubungan kita ini. Gue rasa, gue dan Fanni semakin lama
semakin menjauh. Hubungan kita semakin lama semakin datar. Gue inget, gue
pernah bilang sama dia, kalo hubungan kita itu ngelewatin 2 fase. Fase pertama,
kita ini bagaikan naik arung jeram. Hubungan kita pada awalnya sangat seru dan
penuh drama, ada kalanya kita berada disituasi yang menegangkan karena harus
melewati sebuah jeram yang mungkin bisa membuat “perahu karet” kita terbalik,
dan hancur. Namun ada kalanya kita berada di situasi yang membuat kita saling
tertawa lepas karena bisa melewati jeram yang mengancam.
Dan fase yang kita lewati sekarang, adalah fase dimana kita
bagaikan menaiki kapal pesiar ditengah lautan yang tenang. Hubungan serasa
berjalan lurus dan datar, tidak ada jeram yang mengancam, tidak ada ombak yang
mengguncang. Drama yang awalnya selalu ada, sekarang menjadi berkurang jauh.
Membosankan.
Seiring berjalannya waktu, hubungan kita semakin lama
semakin datar. Kita jadi lebih jarang bertemu. Disamping jarak rumah kita yang
lumayan jauh, dan ditambah lagi dengan tingkat kemacetan tingkat tinggi didaerah
dekat rumah dia, belum lagi tugas-tugas kuliah gue yang semakin lama semakin
menggila. Jarang bertemu membuat kita jadi lebih jauh. Jadi lebih sering
berantem, jadi sangat mudah berkata putus, dan jadi lebih sering berpikir untuk
saling meninggalkan satu sama lain.
Setelah genap 8 bulan hubungan yang kita lalu, kita akhirnya
memilih untuk sendiri. Memutuskan hubungan selama 240 hari yang luar biasa itu.
240 hari yang membuat gue menjadi semakin dewasa dan mungkin bisa merubah sifat
buruk gue. 240 hari yang membuat gue jadi sedikit romantis. 240 hari yang
mungkin ngga bakal terlupakan dalam hidup gue, yang bisa gue ceritain ke anak
cucu gue nanti. 240 hari yang membuat gue sadar tentang hubungan ini, bahwa
gelap itu ngga ada. Yang ada itu kekurangan cahaya. Padahal kalo lampu diluar
dinyalain atau bulan bisa lebih terang. Mungkin kita bisa melihat pemandangan
bagus. Mungkin kebosanan yang sudah menggelapkan hubungan ini. Tapi semua mesti
harus berjalan.
Dan satu lagi, walaupun
akhirnya belum tentu bahagia, setidaknya kita pernah tersenyum bersama. Aku
dengan segala kekuranganku, dan kamu, dengan segala kelebihanmu.
Selamat ulang tahun.