Pertemuan Terakhir dengan Nia
Setelah pertemuan kedua dengan
Nia, tanpa terasa sekarang kita berdua udah gak sama-sama lagi. Iya. Hubungan
kita udah berakhir. Gue juga bingung, apa yang membuat hubungan kita bisa
kadaluarsa secepet ini.
Satu alasan dari Nia yang sampe
sekarang gue gabakal pernah lupain waktu dia memutuskan hubungan yang gak lama
ini. Satu alasan yang sampe sekarang sangat gabisa gue terima. Waktu itu gue
inget, dia minta hubungan kita berakhir karena dia (katanya) gak boleh pacaran,
sama orang tuanya. Entah emang bener perasaan gue atau apapun itu, gue ngerasa
kandasnya hubungan ini gaada hubungannya sama apa yang Nia katakan. Walaupun
gitu, kita masih berkomunikasi. Meskipun gak seintens seperti setelah kita
saling meng-accept BBM satu sama lain
waktu itu.
Waktu bergerak semakin maju dan
frekuensi komunikasi yang kita lakukan sudah semakin berkurang, dan kita
menjadi semakin menjauh. Selanjutnya, hidup berlalu begitu saja. Gue punya
pacar, dia punya pacar. Gue putus, dia putus. Seperti dipercepat, satu tahun
berlalu semenjak kita saling mengucap janji untuk bersama, semenjak gue usap
poni lembut didahinya sebagai tanda rasa sayang gue setelah kata ‘iya, aku mau’
yang terucap dari bibirnya.
Suatu malam, ketika gue lagi
duduk didepan notebook dengan sebuah
jendela browser membuka Twitter, gue merasa ada sesuatu yang berbeda waktu itu.
Blackberry disamping notebook gue
bunyi, tanda ada sebuah pesan di BBM yang dateng. Gue hanya berharap itu sebuah
broadcast message gak penting dari
ABG-ABG yang baru megang BB. Tapi entah ada sebuah magnet yang menarik tangan
gue untuk segera membuka pesan itu. Entah karena rindu atau sesuatu gue rasa
gue lagi berhalusinasi, pesan tersebut dari Nia.
Seperti terhempas ke masa lalu,
hal pertama yang gue lakukan sama seperti waktu pertama kali gue mendapat
balesan dari Nia, penuh semangat. Sebuah pesan singkat yang membuat gue
melupakan segalanya, dan seperti dulu, langsung fokus mencari topik obrolan apa
yang harus gue temukan.
Ketika dua orang yang dulu pernah
bersama kembali menjalin sebuah komunikasi, hal yang paling sering dibicarakan
adalah kenangan. Persis seperti apa yang gue dan Nia lakuin saat ini. Kita
berdua saling mengungkapkan apa yang kita ingat.
‘kamu inget nggak gimana pertama
kali kita kenalan dulu’, kata Nia diseberang sana.
‘hm, inget, dikit’ padahal, gue
inget semuanya.
Gue inget semua detail kecil yang
bahkan mungkin dia lupa. Gue inget gimana gue nebak dengan benar ketika dia
dateng ke restoran junk food tempat kita pertama kali bertemu. Gue inget jaket
pink yang dia pake.
Gue juga inget gimana gue selalu
mencoba untuk membuat dia ketawa, yang sebenernya itu hanya taktik gue untuk
terlihat tidak canggung. Taktik yang gue gunakan untuk menutupi sedikit demi
sedikit perasaan gue, agar tidak terlalu muncul ke permukaan, agar tidak
membuat dia jadi ikutan canggung. Gue inget, disela-sela obrolan yang kita
lakukakn gue meyakinkan diri kalo ini bukanlah mimpi. Bahkan, gue inget sepatu
buduk yang gue kenakan.
Gue inget dua buah cheeseburger dan dua mocca float yang kita pesen waktu itu.
Gue juga inget kita pindah dari lantai dua ke lantai satu karena ada
segerombolan anak SMA yang baru akil balik. Gue inget semuanya.
Setelah beberapa kenangan yang
kita bicarakan, topik yang kita bahas jadi berubah sedikit lebih galau. Nia
bercerita soal putus cinta yang baru dia alamin beberapa hari sebelumnya.
Dimana pacarnya yang anak family-family
apalah itu dia tinggalin, karena dia ngerasa kalo dia gak cocok.
Obrolan-obrolan soal kisah cinta
itu berlanjut, entah siapa yang memulai, kita akhirnya mendapat sebuah
kesepakatan untuk bertemu. Entah apa yang meracuni pikiran kami, sehingga kami
bisa saling mengucap rindu satu sama lain. Perasaan memang tidak bisa ditutupi,
setahun setelah hubungan kandas yang berumur kurang dari sebulan itu, setelah
pertemuan kedua yang kita lakukan itu, kita akan bertemu lagi.
Disini gue sekarang, menunggu dia
didepan komplek perumahan dia. Dibawah gapura yang sudah layak untuk dicat
ulang dihampir seluruh sisinya. 15 menit berlalu setelah pesan dari dia yang
menandakan jika dia sedang menuju kearah tempat gue nunggu. Dari kejauhan gue
lihat sebuah motor bebek hijau dengan pengendara seorang bapak paruh baya yang
sedang membonceng seorang cewe yang gak asing lagi buat mata gue. Itu adalah
Nia. Setelah itu, yang kita lakukan adalah saling menyapa dan berpamitan pada Papa
nya –bapak-bapak paruh baya yang bawa motor tadi-.
‘nonton? Mau nonton apa?’ jawab
Nia setelah gue nawarin dia nonton.
‘em apa ya, liat nanti ajadeh
disana’ jawab gue, seadanya.
Di tengah jalan, Nia terus protes
soal motor gue. Waktu itu gue bawa motor Satria F dengan jok yang lebih mirip
seperti prosotan anak TK. Dan waktu itu dia bilang kalo malem itu dia ada janji
sama temen-temennya. Sepertinya waktu masih cukup bagi kita berdua untuk saling
menghapus rindu. Ditengah perjalanan, kita masih bingung, kemana kita tujuan
kita pergi.
Setelah beberapa kali
mempertimbangkan waktu, agar dia bisa membagi antara gue dan teman-temanya,
kita sepakat untuk nonton. Kita lalu pergi ke sebuah Mall yang cukup terkenal
didaerah Surabaya Timur. Waktu itu kita bingung, apa yang mau kita tonton.
Akhirnya kita memilih sebuah film bergenre
sci-fi dengan Tom Cruise sebagai pemeran utamanya.
Setelah menunggu beberapa menit,
kita masuk ke studio tempat film yang kita pilih diputar. Waktu itu dia memakai
dress tanpa lenga dengan motif bunga-bunga. Busana yang kurang cocok sama
suasana didalem bioskop yang dingin ini. Beberapa kali gue tanya ke dia apa dia
ngga ngerasa dingin. Beberapa kali pula gue berharap, dia paham dengan apa
maksut gue. Sebuah modus norak yang ngga berhasil.
Sewaktu film mulai diputar, gue
sebenernya ngga bisa kosentrasi untuk memahami isi dari film tersebut.
Pandangan gue teralihkan dengan sebuah pemandangan yang lebih penting untuk
dipahami. Secara diam-diam gue memandangi wajah Nia. Secara diam-diam gue sadar,
apa yang membuat gue jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang gadis
disamping gue saat ini. Secara diam-diam juga gue kagum ketika melihat sesosok
wajah cantik yang bisa bertambah sangat manis sewaktu tertawa setelah sebuah
adegan didalam film mengejutkannya. Secara diam-diam lagi, gue sadar, gue jatuh
cinta untuk yang kesekian kalinya.
Gue masih inget satu: gimana
caranya agar film ini tidak cepat selesai dan kita berdua tidak segera pulang.
Dan dua: bisa nggak moment ini
selamanya.
Dua jam berlalu, film sudah
berakhir. Ketika lampu mulai menyala sedikit-demi sedikit, ketika itu juga gue
sadar, bahwa ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan. Lalu, beberapa saat setelah
kesadaran gue kembali, gue kembali sadar akan suatu hal yang lain: ini mungkin
kesempatan kedua yang diberikan semesta kepada gue untuk memperbaiki semuanya.
Beberapa saat setelah kita
melangkah meninggalkan XXI, gue dan Nia sepakat untuk pergi ke salah satu
restoran di sebuah hotel di pusat kota Surabaya. Disana, Nia mau ketemuan sama
beberapa temen geng nya.
Setelah sampai ditempat tujuan,
gue gak lupa bilang ke dia ‘makasih ya buat hari ini’ secara langsung. Dia pun
bersikap sama. Selama beberapa detik, kita saling tersenyum tanpa ada kata
sedikitpun. Setelah beberapa obrolan basa-basi, gue pamit pulang.
Setelah memastikan dia sampai ke
dalam restoran dengan selamat, gue bergegas pulang. Sesampai dirumah gue check
BBM, gak ada pesan. Gue berpikir ‘ah mungkin lagi seneng-seneng sama
temen-temennya’. Satu jam, dua jam, tiga jam BBM tetap seperti semula. Tidak
ada pesan.
Keesokan harinya gue kembali
menghubungi dia, berbeda dari tadi malam, kali ini dia membalas pesan yang gue
kirim. Tapi, gue rasa kali ini berbeda. Tidak seperti pada awalnya kita saling
mengirim pesan setelah satu tahun lost
contact, tidak ada gombalan-gombalan lucu, tidak ada kenangan-kenangan yang
saling kita ceritakan, tidak ada kata-kata rindu. Setelah itu, frekuensi
komunikasi kita kembali berkurang sedikit demi sedikit, lalu tanpa butuh waktu
lama kembali menghilang begitu saja.
Sejak obrolan garing yang terakhir
kali kita lakukan, gue sadar, bahwa cinta memang bisa datang kepada orang yang
tepat dan disaat yang tepat. Namun gue lupa, kalo cinta bisa datang kepada
orang yang tepat, tapi disaat yang tidak tepat. Gue gak sadar, bahwa Nia baru
saja putus dengan pacarnya, yang jika dilogika dia gak bakal bisa secepat itu
move on. Yang gue sadari juga, mungkin gue disini terlalu banyak berharap. Menyedihkan memang. Tapi apa mau dikata?
Cinta bisa bikin kita lupa segalanya, termasuk lupa bahwa kita hanya perlu bangun
dan sadar, kalo harapan yang kita inginkan terlalu tinggi. Kadang, seseorang
memang buta, buta dalam melihat siapa yang sebenarnya tulus mencintai, dan yang
sebenarnya hanya modus ingin menyakiti.
Dan gue juga sadar, tidak semua
mantan bisa diharapkan. Apalagi diharapkan buat diajak balikan. Gue cuma bisa
ketawa. Menertawai diri gue sendiri. Yang ngga pernah sadar, inilah kenapa
namanya jatuh cinta: sebagian orang terbang terlalu tinggi mengikuti harapanya,
dan jatuh terlalu keras karena ketinggian. Dan juga, orang yang sering jatuh
cinta, seperti gue, pasti juga sering berharap. Yang dimana orang yang sering
berharap biasanya akan sering kecewa.
Setelah ini, gue gak mau
terus-terusan memikirkan semua hal tentang dia dan akhirnya menjomblo dalam
waktu yang lama. Karena pada dasarnya, alasan kenapa orang lama menjomblo:
cintanya habis di mantannya – kata Raditya Dika-. Masih banyak orang-orang
diluar sana yang membutuhkan cinta gue, keluarga gue, temen-temen gue, dan
sahabat-sahabat gue. Ya, masih banyak.
Dan semoga, setelah berakhirnya tulisan ini, aku bisa melupakan kamu.